Selamat datang, selamat membaca. Semoga bermanfaat. :)
Rabi’ah bin Ka’ab bercerita tentang riwayat hidupnya
dalam Islam. Katanya, “Dalam usia muda jiwaku sudah cemerlang dengan cahaya
iman. Hati kecilku sudah penuh berisi pengertian dan pemahaman tentang Islam.
Pertama kali aku berjumpa dengan Rasulullah SAW, aku langsung jatuh cinta
kepada beliau dengan seluruh jiwa ragaku. Aku sangat tertarik kepadanya,
sehingga aku berpaling kepada beliau seorang dari yang lain.
Pada suatu hari hati kecilku berkata, “Hai
Rabi’ah! Mengapa engkau tidak berusaha untuk berkhidmat menjadi pelayan kepada
Rasulullah SAW? Cobalah usahakan. Jika beliau menyukaimu engkau pasti akan
bahagia berada di samping beliau dalam mencintainya dan akan beroleh keuntungan
di dunia dan akhirat.”
Berkat desakan hati, aku segera mendatangi
Rasulullah SAW dengan penuh harapan semoga beliau menerimaku untuk berkhidmat
kepadanya. Ternyata harapanku tidak sia-sia. Beliau menyukai dan menerimaku
menjadi pelayannya. Sejak hari itu aku senantiasa di samping beliau, selalu
berada di bawah bayang-bayangnya. Aku ikut kemana beliau pergi dan selalu siap
dalam lingkungan tempat beliau berada. Bila beliau mengedipkan mata ke arahku,
aku segera berada di hadapannya. Bila beliau membutuhkan sesuatu, aku sudah
siap sedia melayaninya.
Aku melayani beliau sepanjang hari sampai habis waktu Isya’ yang terakhir. Ketika beliau pulang ke rumahnya hendak tidur, barulah aku berpisah dengannya. Tetapi, hatiku selalu berkata, “Hendak ke mana engkau hai Rabi’ah? Mungkin Rasulullah membutuhkanmu tengah malam.” Karena itu aku duduk di muka pintu beliau dan tidak pergi jauh dari bendul rumahnya.
Tengah malam beliau bangun untuk shalat. Sering kali aku mendengar beliau membaca surat Al-Fatihah. Beliau senantiasa membacanya berulang-ulang sejak dari pertengahan malam ke atas. Setelah mataku mengantuk benar, barulah aku pergi tidur. Sering pula aku mendengar beliau membaca, “Sami’allaahu liman hamidah.” Kadang-kadang beliau membacanya ulang dengan tempo yang lebih lama daripada jarak ulangan membaca Al-Fatihah.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW, jika seorang berbuat baik kepadanya, beliau lebih suka membalasnya dengan yang paling baik. Begitulah, beliau membalas pula pelayananku kepadanya dengan yang paling baik. Pada suatu hari beliau memanggilku seraya berkata, “Hai Rabi’ah bin Ka’ab!”
“Saya, ya Rasulullah!” jawabku sambil
bersiap-siap menerima perintah beliau.
“Katakanlah permintaanmu kepadaku, nanti
kupenuhi,” kata beliau.
Aku diam seketika sambil berpikir. Sesudah
itu aku berkata, “Ya Rasulallah, berilah aku sedikit waktu untuk memikirkan apa
sebaiknya yang akan kuminta. Setelah itu akan kuberitahukan kepada Anda.”
“Baiklah kalau begitu,” jawab
Rasulullah.
Aku seorang pemuda miskin, tidak berkeluarga,
tidak punya harta dan tidak punya rumah tinggal di shuffatul masjid (emper
masjid), bersama-sama dengan kawan senasib, yaitu orang-orang fakir kaum
muslimin. Masyarakat menyebut kami “dhuyuful Islam” (tamu-tamu) Islam. Bila
seorang muslim memberi sedekah kepada Rasulullah, sedekah itu diberikan beliau
kepada kami seluruhnya. Bila ada yang memberikan hadiah kepada beliau,
diambilnya sedikit dan lebihnya diberikan beliau kepada kami.
Nafsuku mendorong supaya aku meminta kekayaan dunia kepada beliau, agar aku terbebas dari kefakiran seperti orang-orang lain yang menjadi kaya, punya harta, istri, dan anak. Tetapi, hati kecilku berkata, “Celaka engkau, hai Rabi’ah bin Ka’ab! Dunia akan hilang lenyap dan rezkimu di dunia sudah dijamin Allah, pasti ada. Padahal, Rasulullah SAW yang berada dekat Rabnya, permintaannya tak pernah ditolak. Mintalah supaya beliau mendoakan kepada Allah kebajikan akhirat untukmu.”
Hatiku mantap dan merasa lega dengan permintaan seperti itu. Kemudian aku datang kepada Rasulullah, lalu beliau bertanya, “Apa permintaanmu, wahai Rabi’ah?”
Jawabku, “Ya Rasulullah! aku memohon semoga
Anda sudi mendoakan kepada Allah Taala agar aku teman Anda di surga.”
Agak lama juga Rasulullah SAW terdiam.
Sesudah itu barulah beliau berkata, “Apakah tidak ada lagi permintaamu yang
lain?”
Jawabku, “Tidak, ya Rasulullah! rasanya tidak
ada lagi permintaan yang melebihi permintaan tersebut bagiku.”
“Kalau begitu bantulah saya dengan dirimu
sendiri. Banyak-banyaklah kamu sujud,” kata Rasulullah. Sejak itu aku
bersungguh-sungguh beribadah, agar mendapatkan keuntungan menemani Rasulullah
di surga, sebagaimana keuntunganku melayani beliau di dunia.
Tidak berapa lama kemudian Rasulullah SAW
memanggilku, katanya, “Apakah engkau tidak hendak menikah, hai Rabi’ah?”
Jawabku, “Aku tidak ingin ada sesuatau yang
menggangguku dalam berkhidmat kepada Anda, ya Rasulullah. Di samping itu, aku
tidak mempunyai apa-apa untuk mahar kawin, dan untuk kelangsungan hidup atau
tegaknya rumah tangga.
Rasulullah diam saja mendengar jawabanku.
Tidak lama kemudian beliau memanggilku kali yang kedua. Kata beliau, “Apakah
engkau tidak hendak menikah, ya Rabi’ah?”
Aku menjawab seperti jawaban yang pertama.
Tetapi setelah aku duduk sendiri, aku menyesal. Aku berkata kepada diri
sendiri, “Celaka engkau hai Rabi’ah! Mengapa engkau menjawab begitu? Bukankah
Rasulullah lebih tahu apa yang baik bagimu mengenai agama maupun dunia, dan
beliau lebih tahu daripada kamu tentang dirimu sendiri? Demi Allah jika
Rasulullah memanggilku lagi dan bertanya masalah kawin, akan kujawab,
ya.”
Memang tidak berapa lama kemudian Rasululah
SAW menanyakan kembali, “Apakah engkau tidak hendak menikah, hai
Rabi’ah?”
Jawabku, “Tentu, ya Rasulullah! Tetapi,
siapakah yang mau kawin denganku, keadaanku seperti yang Anda maklumi.”
Kata Rasululah SAW, “Temuilah keluarga Fulan.
Katakan kepada mereka Rasulullah menyuruh kalian supaya menikahkan anak
perempuan kalian, si Fulanah dengan engkau.”
Dengan malu-malu aku datang ke rumah mereka.
Lalu kukatakan, “Rasulullah mengutusku ke sini, kalian mengawinkan denganku
anak perempuan kalian si Fulanah.”
Jawabku, “Ya, si Fulanah?”
Kata mereka, “Marahaban, bi Rasulilah, wa
marhaban bi rasuli Rasulillah!” (Selamat datang ya Rasulullah dan dan selamat
datang utusan Rasulullah. Demi Allah! Utusan Rasulullah tidak boleh pulang,
kecuali setelah hajatnya terpenuhi!”
Lalu, mereka nikahkan aku dengan anak
gadisnya. Sesudah itu aku datang menemui Rasulullah SAW. Kataku, “Ya
Rasulullah! aku telah kembali dari rumah keluarga yang baik. Mereka
mempercayaiku, menghormatiku, dan menikahkan anak gadisnya denganku. Tetapi,
bagaimana aku harus membayar mahar mas kawinnya?”
Rasulullah memanggil Buraidah ibnu al-Kasib,
seorang sayyid di antara beberapa sayyid dalam kaumku, Bani Aslam. Kata beliau,
“Hai, Buraidah! kumpulkan emas seberat biji kurma, untuk Rabi’ah bin
Ka’ab!”
Mereka segera melaksanakan perintah
Rasulullah SAW tersebut. Emas sudah terkumpul untukku. Kata Rasulullah
kepadaku, “Berikan emas ini kepada mereka. Katakan, “Ini mahar kawin anak
perempuan kalian.”
Aku pergi mendapatkan mereka, lalu kuberikan
emas itu sebagaimana dikatakan Rasulullah. Mereka sangat senang dan berkata,
“Bagus, banyak sekali!”
Aku kembali menemui Rasulullah SAW. Kataku,
“Belum pernah kutemui suatu kaum yang sebaik itu. Mereka senang sekali menerima
emas yang aku berikan. Walaupun sedikit, mereka mengatakan, “Bagus, banyak
sekali!” Sekarang, bagaimana pula caranya aku mengadakan kenduri, sebagai pesta
perkawinanku? Dari mana aku akan mendapatkan biaya, ya Rasulullah?”
Rasulullah berkata kepada Buraidah,
“Kumpulkan uang seharga seekor kibasy, beli kibasy yang besar dan gemuk!”
Kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Temui
Aisyah Minta kepadanya gandum seberapa ada padanya.”
Aku datang menemui ”Aisyah Ummul Mukminin.
Kataku, “Ya, Ummul Mukminin! Rasulullah menyuruhku minta gandum seberapa yang
ada pada ibu.”
”Aisyah menggantangi gandum yang tersedia itu
di rumahnya. Katanya, “Inilah yang ada pada kami, hanya ada tujuh gantang. Demi
Allah! tidak ada lagi selain ini, bawalah!”
Aku pergi ke rumah istriku membawa kibasy dan
gandum. Kata mereka, “Biarlah kami yang memasak gandum. Tetapi kibasy,
sebaiknya Anda serahkan kepada kawan-kawan Anda memasaknya.”
Aku dan beberapa orang suku Aslam mengambil
kibasy tersebut, lalu kami sembelih dan kuliti, sesudah itu kami masak
bersama-sama. Kini sudah tersedia roti dan daging untuk kenduri perkawinanku,
beliau datang memenuhi undanganku. Alhamdulillah.
Kemudian, Rasulullah menghadiahkan sebidang
kebun kepadaku, berbatasan dengan kebun Abu Bakar Shidiq. Dunia kini memasuki
kehidupanku. Sehingga, aku sempat berselisih dengan sahabat senior Abu Bakar
Shidiq, mengenai sebatang pohon kurma. Kataku kurma itu berada dalam kebunku,
jadi milikku. Kata Abu bakar, tidak, kurma itu berada dalam kebunnya dan
menjadi miliknya. Aku tetap ngotot dan membantahnya, sehingga dia mengucapkan
kata-kata yang tak pantas didengar. Setelah dia sadar atas keterlanjurannya
mengucapkan kata-kata tersebut, dia menyesal dan berkata kepadaku, “Hai
Rabi’ah! Ucapkan pula kata-kata seperti yang saya lontarkan kepadamu, sebagai
hukuman (qishash) bagiku!”
Jawabku, “Tidak! Aku tidak akan
mengucapkannya!” Kata Abu Bakar, “Saya adukan kamu kepada Rasulullah, kalau
engkau tidak mau mengucapkannya!” Lalu dia pergi menemui Rasulullah SAW. Aku
mengikutinya dari belakang.
Kaumku Bani Aslam mencela sikapku. Kata
mereka, “Bukankah dia yang memakimu terlebih dahulu? Kemudian dia pula yang
mengadukanmu kepada Rasulullah?”
Jawabku kepada mereka, “Celaka kalian! Tidak
tahukah kalian siapa dia? Itulah “Ash-Shidiq”, sahabat terdekat Rasulullah dan
orang tua kaum muslimin. Pergilah kalian segera sebelum dia melihat kalian
ramai-ramai di sini. Aku khawatir kalau-kalau dia menyangka kalian hendak
membantuku dalam masalah ini sehingga dia menjadi marah. Lalu dalam
kemarahannya dia datang mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah pun akan marah
karena kemarahan Abu Bakar. Karena kemarahan beliau berdua, Allah akan marah
pula, akhirnya si Rabi’ah yang celaka?”
Mendengar kata-kataku mereka pergi. Abu Bakar bertemu dengan Rasululah SAW, lalu diceritakannya kepada beliau apa yang terjadi antarku dengannya, sesuai dengan fakta. Rasulullah mengangkat kepala seraya berkata padaku, “Apa yang terjadi antaramu dengan Shiddiq?”
Jawabku, “Ya Rasulullah! Beliau menghendakiku
mengucapkan kata-kata makian kepadanya, seperti yang diucapkannya kepadaku.
Tetapi, aku tidak mau mengatakannya.”
Kata Rasulullah, “Bagus!” Jangan ucapkan
kata-kata itu. Tetapi, katakanlah, “Ghaffarallaahu li abi bakar.” (Semoga Allah
mengampuni Abu Bakar).
Abu bakar pergi dengan air mata berlinang,
sambil berucap, “Jazaakallaahu khairan, ya Rabi’ah bin Ka’ab.” (Semoga Allah
membalas engkau dengan kebajikan, hai Rabi’ah bin Ka’ab). (Kepahlawanan
Generasi Sahabat Rasulullah – Dr. Abdur Rahman Ra’fat Basya)
Sumber : Tentang Biografi
No comments:
Post a Comment